Namun yang jelas tak ada yang salah dalam instruksi percepatan tersebut, meskipun jelas membuat Direktur PT. Pertamina Ari Soemarno, harus kalang kabut. Alasan Jusuf Kalla sederhana saja. Waktu dua tahun yang dipercepat dianggap mampu menghemat uang sekian puluh trilliun (dana anggaran APBN) yang harus dipakai untuk mensubsidi BBM, yang harganya selalu naik. Dengan memakai gas, karena mampu diolah didalam negeri, beban subsidi BBM menjadi berkurang dan uang sekitar 50 trilliun Rupiah dapat dihemat. Logika sederhana yang cerdas.
Hanya saja Pertamina yang bertugas menyediakan tabung gas tidak siap. Untuk kebutuhan tahun ini saja mereka harus mengimpor 1 juta tabung gas dari kebutuhan yang sebesar 6 juta buah. Sehingga untuk kebutuhan tabung gas pada tahun 2008 impor harus bertambah menjadi 12 juta dari 9 juta yang direncanakan.
Namun rencana panambahan import ini agaknya ditolak oleh Menteri Perindustrian. Ia memberikan opsi perpanjangan sub kontrak hingga Febuari 2008 dan menurutnya pula, pembuatan tabung gas adalah pekerjaan mudah dan percaya target permintaan Pertamian dapat dipenuhi, meskipun ada beberapa keterlambatan pada tahun 2007.
Pelajaran utama yang dapat diambil adri kasus ini adalah, segala proyek besar yang direncanakan dan diatur oleh negara, terlebih melibatkan beberapa instansi pemerintah, acap kedodoran dan tak ada koordinasi.
Jika berasumsi bahwa instruksi Jusuf Kalla sebagai sesuatu yang baik, untuk mengantisipasi jangka panjang kenaikan harga BBM dan menghemat anggaran negara, maka soal import atau tidaknya tabung gas yang dibutuhkan tidak lagi menjadi soal. Yang penting kebutuhan sesuai target percepatan tercapai.
Hanya saja Menteri Perindustrian Fahmi Idris mungkin melihatnya dari aspek yang lain, nasionalisme. Harga diri. Masa para pengrajin di Indonesia tak mampu membuat tabung gas. Dua kepentingan yang tidak connect (nggak nyambung). Tinggal melihat mana yang mau didahulukan. Dengan membuat didalam negeri mungkin memang bertambah devisa yang dapat dihemat, dan juga membuka lapangan usaha bagi pekerja di dalam negeri. Namun pula dengan menunggu para “industrialis” dalam negeri selesai mengerjakan kontraknya, mungkin saja APBn harus menunggu menanggung beban yang lebih lama. Dihitung saja mana yang lebih untung.
Lebih aneh lagi pernyataan politisi yang ada di DPR, anggota Komisi VII Ade Nasution, seperti yang dikutip Rakyat Merdeka 26 Oktober 2007, bahwa ia tak setuju dengan alasan Jusuf Kalla mempercepat konversi karena kenaikan harga minyak dunia. Ia mengatakan kenaikan tersebut adalah hal biasa, dan tinggal bagaimama kesiapan pemerintah dalam menghadapi kenaikan tersebut (?). Apakah yang dilakukan Jusuf Kalla bukan suatu antisipasi?
Yang lebih membingungkan adalah komentar yang diberikan oleh Koordinasi Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah (FMPMT) yang mengatakan bahwa program konversi ini hanya didasari kepentingan Bank Dunia dan IMF (?), bukan atas dasar kesejahteraan rakyat. Ia juga mengatakan bahwa program ini syarat dengan kepentingan perusahaan minyak internasional dan aparat birokrasi. Lho, bukankah dengan menggunakan gas maka akan beralih dari minyak, bukan lagi Pertamina yang berjaya melainkan PN. Gas. Selama ini Indonesia lebih banyak mengeskport gas keluar daripada memakai dalam negeri.
Ah…komentar-komentar yang membingungkan..
(Postingan lama di upload kembali)