Markus dan Etika Profesi




Sekarang ini istilah Markus (makelar kasus) seolah menjadi pembicaraan hangat, meskipun di kalangan tertentu kata-kata tersebut sudah sangat akrab. Kemunculan markus dalam kasus Cicak Vs Buaya membuat markus seolah diibaratkan fenomena snowball, yang semakin lama semakin kuat dan akhirnya menghantam dan meluluhlantakkan segala apa yang ada disekitarnya. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka jangan-jangan para cenayang pun suatu hari akan terkena “bola salju made in markus” tanpa sempat meramalkannya terlebih dahulu. Kalau sudah begitu tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.


Sebelum semua itu akan memuncak, sepertinya kita harus balik lagi ke titik awal dalam kancah berfikir, kenapa markus bisa ada di negeri kita tercinta ini? Mungkin dengan pertanyaan sederhana tersebut kita bisa mendapatkan jawaban yang sederhana pula sehingga mudah untuk dicerna oleh siapapun. Berpijak kepada teori penegakan hukum Soerjono Soekamto, faktor-faktor penegakan hukum atau yang lebih dikenal dengan istilah law enforcement yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.


Saat ini yang menjadi sorotan yang sangat-sangat menyedot perhatian setiap orang adalah faktor penegak hukum, terutama kasus Cicak versus Buaya. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam tulisan ini, maka yang dimaksud dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, advokat dan lembaga pemasyarakatan atau yang dikenal dengan Criminal Justice System.


Kembali pada permasalahan adanya Markus, tidak lain adalah seperti pada perkataan bang napi, mengutip dari salah satu acara di salah satu televisi swasta. Kata Bang NAPI: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi kejahatan bisa terjadi karna ada kesempatan, waspadalah! waspadalah!”
Bahwa timbulnya Markus tidak lain dikarenakan adanya kesempatan. Kesempatan apa yang dapat timbul dari masalah ini, tidak lain adalah karena kesempatan yang ditimbulkan dari para aparat penegak hukum sendiri. Sehingga keberadaan markus makin merajalela melenggang dalam pengadilan. Sebenarnya pengaturan untuk mencegah terjadinya markus sebenarnya sudah ada yaitu dengan adanya kode etik pada tiap aparat penegak hukum atau kita lebih kenal dengan Etika Profesi Hukum.


Seharusnya para aparat penegak hukum harus merenungkan kembali apa itu etika profesi hukum yang akhirnya terejawantah dalam kode etik profesi hukum. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam profesi hukum.


Hubungan etika dengan profesi hukum, bahwa etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap mayarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama. Dan oleh karena itulah dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi yaitu sebagai berikut;
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.


Sinergiditas antara etika profesi dan kode etik adalah seperti kita ambil dari Yap Thiam Hiem, dalam bukunya “Masalah Pelanggaran Kode Etik Profesi Dalam Penegakan Keadilan dan Hukum”, maksud dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional. Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.”


Dari uraian di atas sesungguhnya Markus tersebut seharusnya sudah tidak dapat lagi hadir dalam criminal justice system kita, jika para unsur catur wangsa (hakim, jaksa, polisi, advokat) penegak hukum di Indonesia telah benar-benar comit dengan kode etik masing-masing. Dengan kata lain jangan ada celah-celah kecil yang makin lama makin meluas (efek kapilaritas) yang akhirnya dapat mengaburkan suatu permasalahan yang sedang terjadi.


Persoalan yang menyeruak dan menjangkiti hukum di Indonesia saat ini lebih disebabkan karena terjadinya degradasi moral dalam tubuh aparatur penegak hukum kita. Dalam benak penulis, momentum saat ini dapat menjadi langkah awal pemerintah bersama jajaran institusi penegak hukum, akademisi hukum dan pihak lain terkait penegakan hukum, untuk merekonstruksi kode etik profesi hukum dimana substansinya harus jauh lebih accountable (tanggung jawab). Lebih tegas menutup celah-celah penyelewengan hukum, sangat jelas dan transparan serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Pembenahan etika aparatur penegak hukum seharusnya menjadi salah satu agenda pemerintah dalam mereformasi institusi penegak hukum.


Jadikan kode etik sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi hukum yang tidak lain adalah untuk selalu mengacu pada tujuan hukum yang tidak lain adalah mewujudkan ketertiban yang berkeadilan, yang bertumpu pada penghormatan martabat manusia.

















copyrights © 2012 | design by bambang haryanto | powered by blogger.com