Korupsi di Indonesia
Dari Mana Harus Memberantasnya?





Rezim Orde Baru Soeharto, dan diteruskan oleh “muridnya” Habibie, telah meningalkan banyak persoalan pelik bagi pemerintah sesudahnya (Gus Dur, Megawati, SBY). Persoalan-persoalan tersebut bukan hanya persoalan krisis ekonomi, disintegrasi, kersusuhan (persoalan SARA), hak asasi manusia (HAM), ataupun utang luar negeri yang semakin menumpuk, namun juga persoalan pemberantasan dan pembersihan KKN yang merupakan “najis warisan” Orde Baru.

Soeharto dipercaya meninggalkan banyak persoalan KKN, yang juga melibatkan diri dan keluarganya. Bahkan isu KKN merupakan salah satu isu yang diusung oleh para mahasiswa, saat melancarkan aksi reformasi yang menggulingkan Soeharto. Namun yang menjadi persoalan kini adalah lambannya proses penyelesaian persoalan KKN tersebut. Bahkan terkesan Kejaksaan Agung ogah-ogahan dalam menuntaskan kasus-kasus KKN yang melibatkan Soeharto dan para kroninya. Kasus-kasus besar yang masuk ke Kejaksaan Agung, seperti kasus KKN Soeharto dan Keluarganya, kasus Bank Bali, Kasus Andi Ghalib, kasus Texmaco, kasus BLBI, kasus Goro, dan sebagainya, belum ada yang tuntas digarap oleh Kejaksaan Agung.

Korupsi seolah hanya menjadi komoditi politik belaka. Para politisi, yang pada saat gerakan reformasi menumbangkan gencar meneriakkan isu KKN Soeharto dan kroni-kroninya, kini seolah bungkam. Bahkan Gus Dur sendiri hingga kini belum juga mengungkapkan tiga orang menteri dalam kabinetnya yang ia isukan terlibat KKN. Anehnya inisiatif untuk menuntaskan persoalan korupsi ini justru datang dari lembaga-lembaga kreditor yang memberikan utang kepada Indonesia.

Bank Dunia dan Asia Development Bank (ADB) menganggarkan bantuan sebesar USD 1 juta untuk menuntaskan persoalan korupsi di Indonesia. Dan lucunya para praktisi politik mulai kembali berteriak soal korupsi setelah adanya desakan dan janji bantuan Bank Dunia tentang korupsi di dalam sidang CGI di Jakarta, 1-2 Februari 2000. Dalam sebuah seminar di Jakarta, Amien Rais tiba-tiba muncul kembali meneriakkan tentang perlunya untuk membentuk komisi anti korupsi sesegera mungkin.

Ada satu pertanyaan yang agaknya layak untuk dilontarkan; apa susahnya menyeret seorang mantan presiden yang bernama Soeharto, yang dipercaya oleh banyak orang sebagai dalang utama korupsi di masa Orde Baru? Lagi-lagi jawabannya akan terbentur pada azas hukum dan praduga tak bersalah. Akan tetapi patutkah kita menyandarkan penegakan keadilan pada sistem hukum yang dijalankan oleh aparat hukum yang masih merupakan bagian dari masa lalu?

Jangan-jangan benar apa yang pernah diucapkan oleh mantan wakil presiden M. Hatta, bahwa korupsi di Indonesia sudah begitu berurat berakar dan telah menjadi suatu budaya yang amat susah untuk dihilangkan.

Jika demikian logikanya maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah perombakan total terhadap sistem politik dan ekonomi yang ada. Karena toh upaya pemberantasan korupsi yang pernah dilakukan sejak masa VOC, Hindia Belanda, ataupun Orde Baru, dengan meningkat gaji para pegawai negeri, telah gagal. Persoalan korupsi agaknya sudah harus dilihat dalam kerangka sistem. Korupsi merupakan hasil atau ekses yang timbul dari suatu sistem ekonomi dan politik yang dijalankan oleh mesin pemerintahan modern.

BTW, saat ini masih mungkinkah kejaksaan menyeret mantan presiden Soeharto ke pengadilan ? saya rasa semuanya sudah terlambat. Bila mantan presiden Soeharto saat ini dapat diseret ke pengadilan, itu baru berita menghebohkan, dan saya yakin para hakim yang menyidangkannya pun akan lari terbirit birit. Selanjutnya sidang digelar di Astana Giri Bangun, ha...ha...ha... :-D


(Postingan lama di upload kembali)


















copyrights © 2012 | design by bambang haryanto | powered by blogger.com