IPDN Tiada Akhir


http://photos-p.friendster.com/photos/50/81/94661805/1_789371086l.jpg


Meskipun telat namun akhirnya Presiden SBY bereaksi terhadap kasus IPDN terbaru, tewasnya salah satu siswa IPDN jatinangor, Jawa Barat, Cliff Muntu.
“Lebih baik daripada tidak sama sekali.

Namun sekali lagi, seperti biasa, wacananya adalah “terlalu dini sekarang saya katakan harus diapakan IPDN.” Menurut SBY tindakan yang akan diambil harus bersifat fundamental, bisa dengan cara merombak IPDN yang ada dan membangun institusi pendidikan yang baru. Sementara tuntutan masyarakat untuk membubarkan lembaga pendidikan milik Departemen Dalam Negeri ini semakin kuat, mengingat jumlah korban yang sudah tak sedikit. Kasus Cliff Muntu ini bukan yang pertama, dan mungkin pula bukan yang terakhir jika IPDN ini tetap dipertahankan.

Apa masih ada manfaat keberadaan lembaga pendidikan semacam IPDN? Bukankah rekruitmen pegawai pemerintah sudah dapat dilakukan oleh setiap pemerintah daerah dan menyesuaikannya dengan kebutuhan yang dimiliki daerah.

Konon cerita IPDN diibaratkan sebagai kawah candradimuka bagi para pemimpin birokrasi daerah nantinya, seperti camat misalnya. Itu sebabnya yang melantik para lulusan tersebut biasanya presiden RI, seperti pelantikan lulusan akademi militer atau kepolisian. Saya pernah bertemu dan berbincang dengan beberapa lulusan IPDN yang kini bekerja di beberapa daerah. Umumnya mereka bangga dengan status mereka sebagai lulusan IPDN, wong dilantik presiden. Walaupun saat ditempatkan di daerah, di tingkat kecamatan misalnya, mereka pertama kali hanya bertugas mengantarkan surat. (Perploncoan tidak hanya terjadi di IPDN tetapi juga di birokrasi pemerintah)

Berbincang lebih jauh toh pemahaman mereka tentang tata pemerintahan daerah dan apa yang harus dilakukan guna membangun daerahnya tidaklah terlalu canggih. Sehingga dalam hati saya bertanya, apa sebenarnya yang mereka pelajari saat belajar di IPDN?

Lebih jauh, mempertanyakan relevansi model pendidikan IPDN, mengapa masih mengemukakan unsur militeristik dalam membangun kedisiplinan mereka. Pakaian seragam ketat ala taruna akademi militer ini mungkin tak layak lagi.

Paling tidak dengan menggunakan pakaian biasa kesan “sangar” dan berbeda dengan siswa pendidikan tinggi lainnya dapat dihilangkan. Kemuka baik pula jika presiden tidak lagi melantik mereka. Ini untuk menyamakan para siswa IPDN dengan siswa-siswa lain pada umumnya dan menghilangkan arogansi mereka.

Yaks.... kenapa harus repot ? bubarkan saja IPDN sebelum jatuh korban lagi.

(Tulisan ini dibuat tanpa maksud tendensius karena saya pernah gagal masuk IPDN, saat ini saya baru sadar ternyata dibalik kegagalan selalu ada hikmah positif yang bisa kita ambil, dan sudah sepantasnya saya banyak bersyukur pada Allah SWT)

Hey... kenapa jadi terbawa sentimentil ? :D


(Postingan lama di upload kembali)



















copyrights © 2012 | design by bambang haryanto | powered by blogger.com